Siangku dikacaukan oleh dering ponsel
yang memecah keheningan dalam asrama. Tak ku hiraukan dering ponsel itu dan
fokus pada bahan presentasi kuliah untuk besok. Tetapi lama kelamaan dering itu
juga mengganggu. Aku mengambil ponselku yang tergeletak di tempat tidur. Ku
lihat siapa yang meneleponku. Lita. Adikku satu-satunya.
“Assalamualaikum.” kataku, memulai
pembicaraan.
Masih belum ada sahutan dari sebrang
sana. Lalu beberapa detik kemudian... “Mbak.” Suara Lita terdengar pelan,
bahkan seperti berbisik. Lalu hening lagi.
“Ada apa Lit?”
“Mbak.” Suara Lita terdengar bergetar.
Begitu pun dengan hatiku. Ada apa ini? Aku
menelan ludah. Berusaha untuk tetap berpikiran positif meskipun otakku mulai
diterpa oleh berbagai pikiran negatif. “Ibu,..” Lita berhenti sejenak. “Ibu
sakit keras mbak.”
Hening. Dan kosong. Selama sepersekian
detik aku mencoba mencerna keadaan ini. Suara Lita selanjutnya hanyalah seperti
angin berlalu. Ibuku sakit keras? Ibuku sakit keras? Otakku mendadak kosong.
Yang terpikir hanyalah aku harus pulang ke tanah air secepat mungkin. Setelah
telepon terputus, aku mengambil tas dan memasukkan ponsel, dompet, serta
pasport.
Aku meninggalkan asrama seketika.
Setelah semua urusan selesai, aku berangkat ke bandara. Senja mulai bernaung
ketika aku duduk di kursi dalam pesawat. Entahlah. Tak ada yang bisa ku lakukan
selain untaian doa kepada ilahi untuk kesembuhan ibuku. Aku merogoh tasku dan
mengambil dompet lusuh pemberian ibu. Dalam dompet itu terpajang foto hitam
putih bapak dan ibuku. Membawa pikiranku melayang ke masa lalu.
Ibu dan bapakku bisa dibilang sangat
mencintai Indonesia. Karena dulunya almarhum mbahku meninggal saat ikut perang,
katanya. Setiap tanggal-tanggal bersejarah seperti hari Proklamasi Kemerdekaan,
hari Pendidikan Nasional, hari Sepuluh November, dan lain-lain bapak dan ibu
selalu memasang bendera terlebih dahulu meskipun tetangga yang lain belum ada
yang memasang bendera.
Iseng adikku pernah bertanya. “Bu, kog
udah masang bendera sih? Tetangga yang lain aja belum?”
Bapak menyahut. “Lha wong bentar lagi
sepuluh november.”
“Tapi kan belum disuruh pak RT?” Adikku
rupanya masih belum puas dengan jawaban bapak.
“Yo biarin. Wong kita tinggal masang aja
kok nunggu disuruh. Dulu saat masih belum merdeka, orang-orang berlomba-lomba
buat ngibarin bendera. Sekarang udah zamannya enak ngibarin bendera aja nunggu
disuruh.”
Adikku langsung terdiam. Ia melirik aku
yang sedang tertawa mengejeknya. Ia mendesah sebal. Lucu.
Ibuku berhenti mengupas mangga. “Kalau
perlu Rani ikut paskibraka aja. Biar rasa nasionalismenya itu bangkit.”
Aku tersentak. “Agh! Ndak usah bu! Ndak
usah repot-repot!”
“Lho! Ndak apa-apa. Paskibraka di
sekolahmu itu bagus. Nanti ibu daftarin.”seru ibuku.
Aku menelan ludah. Ku dengar tawa renyah
dari adikku. Yang semakin membuatku kesal. Aku merengut sambil kembali ke
kamar.
Saat itu aku masih duduk di bangku SMA,
ketika ibu dan bapak dengan bangganya mengatakan bahwa aku adalah generasi muda
yang baik. Dengan seriusnya, akhirnya ibu mendesakku untuk ikut ekstra
kulikuler paskibraka. Katanya supaya rasa nasionalismeku bangkit. Dengan berat
hati aku mengikuti saran ibu.
Setiap jum’at sore aku latihan
paskibaraka. Menyebalkan. Jadinya aku tak bisa menonton drama favoritku di
televisi. Tetapi itu hanya berlangsung beberapa bulan. Aku memilih berhenti
dari ekstrakulikuler paskibraka. Ketika ada pembagian raport tengah semester,
guruku mengatakan pada ibu bahwa aku sudah berhenti dari paskibraka. Ibu sangat
marah padaku.
“Ran, kamu tahu tujuan ibu masukin
kamu ke paskibraka? Supaya kamu itu tahu rasa nasionalisme itu! Ndak melulu
suka sama yang berbau barat-barat.” omel ibu.
“Latihan paskibraka itu tiap jum’at
sore. Aku jadi nggak bisa nonton drama favoritku bu.” balasku.
“Oh. Jadinya yang buat kamu keluar
dari paskibraka itu gara-gara ndak bisa nonton televisi. Ya Allah Ran.
Keterlaluan!”
Bagaikan angin berlalu aku tak menghiraukan
nasihat maupun omelan ibuku. Ku lirik sejenak bapak. Ia hanya duduk di kursi
sambil menyesap secangkir kopinya. Suka sama hal yang berbau barat bagiku itu
kan modernitas supaya nggak ketinggalan zaman. Aku tidak mau kalau teman-teman
mengatakan bahwa aku itu katrok, ndeso atau apalah.
Akibatnya setelah perdebatan hari
itu aku dan ibu saling marah. Bahkan ibu mengambil tindakan ekstrim yaitu
dengan tidak menyapaku selama beberapa hari. Tapi akhirnya secara tidak
langsung aku dan ibu berbaikan. Karena kami adalah ibu dan anak. Sama-sama
membutuhkan satu sama lain, terlebih lagi aku.
Meskipun sudah berbaikan, sikap ibu
terkadang masih sangat menyebalkan. Seperti siang itu ketika liburan sekolah.
Aku menyetel lagu favoritku dan ikut bernyanyi dengan penuh semangat. Ibu masuk
ke kamarku tiba-tiba dan langsung memarahiku. Rupanya saat itu ibu sudah
memanggilku berkali-kali tapi aku tak mendengarkannya. Jadinya ibu marah-marah
dan mulai menyinggung tentang musik barat vs musik negeri.
“Astagfirullahal adzim Rani. Ibu
dari tadi manggil kamu.” seru ibuku.
“Maaf bu. Rani ndak dengar.” akuku.
“Lha! Gimana mau dengar. Kamu nyetel
lagu jingkrak-jingkrak kayak gitu!” seru ibu. Aku terdiam. Perlahan-lahan
tanganku menekan tombol remot untuk mematikan lagu itu. “Kalau musik barat aja
kamu hafal. Coba lagu dari sabang sampai merauke. Apa kamu bisa?”
Aku nyengir. “Nggak hafal semuanya
bu.”
Ibu menghela napas lalu keluar dari
kamarku. Mungkin karena ia lelah berdebat denganku. Ketika makan siang, ibu
mulai membandingkanku dengan prestasi paskibraka Lita. Adikku itu memang
menuruti keinginan ibu. Semuanya. Mengikuti ekstra kulikuler paskibraka, tidak
suka musik barat, bahkan rencananya setelah lulus SMA ibu dan bapak ingin
menyekolahkannya ke KOWAL.
“Adikmu menang lagi paskibnya. Juara
satu lho Ran!” kata ibu.
“Oh. Selamat Lit.” balasku. Aku
tidak tertarik.
“Ran, kamu udah kelas tiga semester
terakhir lagi. Lulus SMA mau kemana?” tanya bapak. Sepertinya bapak ingin
mengubah topik pembicaraan.
“Nggak tahu, Pak. Rani ingin cari
beasiswa kuliah keluar negeri. Barangkali dapat alhamdulillah.” jawabku.
“Keluar negeri? Kenapa nggak di sini
aja mbak? Kalau keluar negeri kan otomatis jauh dari keluarga.” sambung Lita.
“Itu impianku dari kecil, Lit. Jadi
lulusan universitas luar negeri peluang kerjanya lebih banyak dari yang dalam
negeri.” kataku.
“Sekolah di sini juga bisa sukses
kok.” kata ibu. Aku hanya terdiam menatap sepiring nasi dan tempe goreng.
Tidak
apa-apa. Aku bisa meraih impianku. Itulah kata-kata yang selalu aku
tanamkan dalam otakku. Hingga akhirnya, aku lulus SMA dengan nilai yang cukup
memuaskan bagi bapak dan ibuku. Selama beberapa bulan terakhir aku benar-benar
bekerja keras. Lahir dari keluarga sederhana bukan berarti tidak boleh
mempunyai impian tinggi. Aku yakin aku bisa. Aku yakin impianku akan tercapai.
Setelah lulus SMA, aku masih
nganggur di rumah selama satu bulan. Setelah mengikuti tes beasiswa kuliah di
Singapura, seharusnya hari ini adalah hari pengumumannya. Aku menunggu was-was
di teras rumah. Lalu kembali ke kamar. Lalu kembali ke teras lagi. Hingga sebuah
sepeda motor berwarna orange mendarat mulus di depan rumah. Itu Pak Pos.
Ia menyerahkan sebuah surat resmi
dan menyuruhku untuk tanda tangan di berkas-berkas. Setelah selesai, aku masuk
ke dalam rumah. Mencoba untuk bersikap tenang. Saat itu rumah sedang sepi.
Bapak sedang kerja, Lita sedang sekolah, dan ibu sedang pergi ke rumah
Pakdheku. Aku membuka surat itu dengan tegang. Dan hasilnya aku diterima di
Universitas Singapura.
Entahlah. Yang ada dalam benakku
hanyalah ucapan syukur yang tak terhitung banyaknya. Berkali-kali aku sujud
syukur dengan air mata kebahagiaan yang tak henti-hentinya mengalir. Ketika ibu
pulang, ku sambut dengan pelukan dan teriakan kegirangan.
“Ibu aku akan kuliah di Singapura.”
seruku sambil memeluknya. Ibu tak berkata apapun. Ia hanya tersenyum sambil
meneteskan air mata.
Ketika Lita pulang sekolah dan bapak
pulang kerja ku sambut dengan bau masakan yang lain dari biasanya. Terasa lebih
spesial. “Pak, aku mau ke Singapura.” kataku sambil menyerahkan surat yang ku
dapat.
Tak henti-hentinya bapak memelukku
sambil menangis.
Kabar itu begitu cepat menyebar. Ke
tetangga, ke saudara dekat dan jauh. Bapak menjual motornya untuk membiayaiku
hidup di sana. Setelah semua urusan di Indonesia selesai, akhirnya aku
berangkat ke Singapura.Di bandara terjadi momen yang begitu emosional bagiku.
Ibu memelukku sambil menangis.
“Ran, jaga diri! Jangan lupa berdoa!
Ingat! Tujuan kamu di sana buat belajar bukan buat hura-hura.” kata ibu sambil
menangis. Ia memelukku erat. Tadinya aku kira akan mudah lepas dari ibu, bapak,
maupun Lita. Tapi ternyata berat. Hidup bersama belasan tahun dan ikatan batin
yang kuat bagaikan tembok baja yang sulit ditembus.
Aku menatap mata tua bapak yang
memerah menahan air mata. Andaikan bisa ku bawa mereka pasti akan ku bawa. “Hati-hati
nak. Ingat! Selalu ingat Gusti Allah. Kalau ada masalah telepon aja.” Aku
mengangguk, masih dengan air mata yang mengalir deras.Bercabang-cabang bagaikan
aliran sungai.
Aku menatap adikku yang menangis
sesenggukan. “Mbak. Hati-hati. Kalau pulang, jangan lupa bawa oleh-oleh.”
Aku tertawa di sela tangisku. “Lit,
titip bapak sama ibu ya. Jangan nakal! Jangan buat susah bapak sama ibu.”
Adikku mengangguk sambil tersenyum.
“Mbak, kalau sudah sukses jangan lupa sama akarmu.” katanya. Aku mengelus
rambutnya.
“Assalamualaikum.” kataku
berpamitan. Aku pasti akan merindukan mereka.
Kuliah di Singapura membuatku harus
tinggal di asrama. Hari-hari pertama di sana, ku jalani dengan adaptasi. Di
malam-malam pertama aku suka menangis karena merindukan rumah. Aku rindu bapak,
ibu, dan Lita. Tetapi aktivitas kampus menuntutku untuk lebih cepat adaptasi.
Di sana cukup banyak TKW. Aku berteman akrab dengan mereka. Salah satunya Inne,
TKW asal Tegal.Aku memanggilnya mbak karena usianya sudah 28 tahun. Ia bekerja
sebagai baby sitter. Ia pernah cerita bahwa kehidupan di Indonesia itu keras.
Tapi di luar negeri jauh lebih keras.
“Memang benar kata orang. Apapun
yang terjadi lebih nyaman tinggal di negeri sendiri daripada di negeri orang.”
kata Inne.
“Emang gitu ya mbak?”
Aku masih belum percaya. Memang aku jauh
dari keluarga dan tinggal di sini sering membuatku terkena homesick. Tapi di
sini pikiranku tentang dunia ini jauh lebih terbuka. Mungkin juga ada alasan
lain yang aku tidak tahu.
“Kadang saya sering merasa menyesal
kerja di luar negeri.” akunya.
“Lho! Kenapa mbak? Di sini kan gajinya
lebih besar daripada di Indonesia.”
“Itu pikiran saya sewaktu pertama kali
datang ke sini, Ran. Saya sering kangen keluarga. Kangen anak dan kangen suami.
Tapi mau gimana lagi kontrak kerjanya belum habis. Kalau saya lagi beruntung
saya bisa dapat majikan yang baik. Tetapi kalau keberuntungan berbalik jadi
kesialan. Ya sekali lagi nasib yang harus berkata. Majikan saya kadang suka
menyulitkan saya.”
Aku tertegun mendengar cerita mbak Inne.
Sekali lagi aku begiti terkejut.
***
Alhamdulillah. Akhirnya aku sudah sampai di
Tanah Air, tepatnya Surabaya. Aku membuka dompetku. Tidak ada banyak uang.
Mungkin hanya cukup untuk naik taksi sampai di rumah sakit. Seluruh uang
tabungan ku gunakan untuk membeli tiket pesawat dan urusan administrasi
lainnya.
Perjalanan menuju rumah sakit
benar-benar menguji kesabaranku. Jalan-jalan banyak yang macet. Padahal aku
ingin cepat-cepat sampai di rumah sakit. Hingga akhirnya aku sampai di rumah
sakit. Lita memberi tahu letak kamar ibu dengan jelas melalui pesan singkat
yang baru masuk beberapa menit yang lalu.
Aku berlari menuju kamar ibu. Hingga
akhirnya aku tiba di depan kamar ibu. Aku berhenti sejenak untuk menghela
napas. Lalu perlahan-lahan ku raih gagang pintu itu dan membuka pintu. Ku lihat
di depan mataku, ibu terbaring tak berdaya sementara alat-alat medis menempel
pada tubuhnya. Aku benci hal ini. Ibuku bukanlah orang yang lemah. Ia wanita
yang kuat dan tangguh. Sementara wanita yang terbaring tak berdaya di sini. Oh
mungkinkah wanita itu bukan ibu?
Lita memegang pundakku dan
menuntunku mendekati ibu. “Mbak.” Ku lihat air mata membasahi kedua pipinya.
Sebutir air mata meleleh di pipiku.
Air mata yang sedari tadi ku tahan kini akhirnya pecah tanpa bisa dibendung.
Ibu membuka matanya perlahan-lahan. Senyuman samar tersungging di bibirnya.
“Rani kangen sama ibu.”
“Nduk, gimana sekolahmu?” Suara ibu
terdengar tersendat-sendat.
“Baik bu. Sebentar lagi Rani mau
masuk semester akhir. Setelah itu lulus dan jadi sarjana ekonomi.” kataku
berusaha untuk tersenyum.
“Ibu harap, kamu bisa jadi yang
terbaik bagi bangsa ini. Bagi bapak dan bagi ibu.” kata ibu. Ia masih
tersenyum.
“Insyaallah bu. Insyaallah.”
Ibu menatapku lalu berpaling pada
Lita. Sekali lagi beliau masih tersenyum. Tiba-tiba ku sadari sorot matanya
mulai meredup. Ketakutan mulai menjalari tubuhku. Mengisi ruang dalam otakku.
Dokter jaga memeriksanya berkali-kali. Aku melihat layar monitor. Lalu garis
lurus muncul. Menyentakkan logikaku. Aku menatap ibu. Ia menutup matanya sambil
tersenyum. Dokter menatap bapak sambil
menggelengkan kepala. Ku lihat Lita menangis sesenggukan. Tidak. Tidak mungkin.
Demi Allah! Ini tidak mungkin.
“Ibu! Ini ndak mungkin tho pak! Ibu
ndak mungkin pergi! Rani belum sempat membanggakan ibu! Rani belum jadi sarjana
pak.” seruku. Bapak mendekap aku dan Lita. Dari balik punggung bapak aku
melihat suster telah melepas alat medis yang menempel pada tubuh ibu.
Dan gelap.
“Ingat
nduk! Jadilah yang terbaik untuk bangsa ini! Kita tidak lagi dijajah secara
fisik. Tetapi kita dijajah melalui moral, etika, dan oleh kebodohan. Jangan
mau, nduk! Dulu mbahmu berharap supaya negeri ini tidak dijajah lagi. Sekarang
ibu juga berharap supaya negeri ini tidak dijajah untuk yang kesekian kali. Ibu
percaya kamu bisa. Karena kamu gadis yang penuh tekad.”
Samar-samar ku dengar suara ibu.
Rupanya hanya mimpi. Aku membuka mataku dengan berat. Selama beberapa detik aku
berusaha mempercayai semuanya. Tapi hal ini sungguh berat. Aku bangun. Dan
kusadari tubuhku ada di kamar Lita. Di rumah. Bulikku mendekapku.
“Ibu bulik. Ibu udah ndak ada.”
Tangisku kembali pecah.
Bulik mengangguk sambil menangis.
“Ya nduk. Yang sabar. Ini sudah suratan.”
Setelah pemakaman, aku hanya berdiam
diri di kamar. Kenanganku bersama ibu mulai dari bayi sampai detik-detik
terakhir ibu berputar seperti film dalam otakku. Aku mendekap foto ibu. Dan
tangisku kembali pecah. Aku menyesal karena belum sempat melakukan apa-apa
untuk ibu.
Pintu kamar terbuka. Lita masuk ke
kamar sambil membawakanku sepiring makanan. “Mbak, ayo dimakan!” kata Lita.
Aku menggelengkan kepala. Ia menaruh
sepiring makanan itu di kasur.
Tangis Lita tiba-tiba pecah. “Jangan
gitu tho mbak. Nanti ibu sedih. Jangan buat ibu nangis di akhirat.”
Aku memeluk Lita. “Mbak nyesel Lit.
Mbak nyesel. Mbak ndak pernah nurut ibu. Mbak selalu buat ibu sedih. Padahal
mbak belum melakukan apa-apa. Tapi ibu udah dipanggil Allah.”
Mungkin karena mendengar gaduh di
kamarku, bapak masuk ke kamar dan duduk di sampingku. Dengan tegarnya ia
berkata, “Sabar nduk. Ini sudah suratan. Jangan buat ibumu sedih di sana.”
“Tapi Rani belum sempat melakukan
apa-apa Pak.”
“Lakukan mulai dari sekarang, nduk. Lakukan
apa yang ibumu inginkan. Jadi yang terbaik untuk bangsa.”
Kata-kata bapak seperti membangunkan
sesuatu dalam jiwaku. Seperti sebuah api yang menggelorakan jiwaku. Aku
terisak. “Insyaallah Pak. Insyaallah Rani akan melakukan apa yang ibu
inginkan.”
***
Aku akan kembali ke Singapura
setelah tujuh hariannya ibu. Itu berarti sore ini. Budhe yang membiayai tiket
pesawat dan administrasi untuk ke sana. Karena uang tabunganku telah habis
untuk biaya pulang ke Surabaya dan bapak juga nggak ada uang. Sebelum berangkat
aku nyekar ke makam ibu yang tidak jauh dari rumah.
“Bu, semoga harapan dan impian ibu
bisa Rani wujudkan. Rani akan selalu berusaha sebisa mungkin. Mulai besok. Mm.
Tidak. Mulai sekarang Rani akan berusaha untuk menjadi yang terbaik untuk
bangsa ini. Karena seperti ibu. Rani juga ingin memajukan bangsa ini. Insyaallah,
bu. Insyaallah Rani bisa.”
Aku membaca doa dan menaburkan bunga
di atas gundukan tanah yang masih basah ini. Aku berdiri dan berjalan
meninggalkan makam ibu. Kenanganku bersama ibu masih terekam jelas dalam
memoriku. Insyaallah. Insyaallah aku bisa.
Bismillahirrahmannirrahim.
TAMAT