Thursday, May 30, 2013

Jalan Cinta

Ini gila. Benar-benar gila. Nggak salah? Mama menyuruhku untuk mengambil jurusan IPA. Yeah memang aku punya kemungkinan besar untuk masuk untuk masuk jurusan IPA. Tetapi aku lebih menyukai jurusan Bahasa. Duniaku. Aku ingin menjadi penulis novel, penerjemah, atau pun teknisi pengajar bahasa asing bukan sebagai ahli ilmu pengetahuan.
"Kamu harus ngambil jurusan IPA, Cheryl! Kemampuan kamu mencukupi kog" kata mama nyolot.
"Nggak ah ma! Cheryl nggak mau ngambil jurusan IPA!" tukasku. "Cheryl mau ngambil jurusan Bahasa aja!"
"Apa?" kata mama dan kak Vina bersamaan. Mata mereka membelalak sebesar piring seperti baru saja mendengar berita buruk.
"Jurusan bahasa itu nggak menjamin, Cheryl!" sambung Kak Vina.
"Siapa bilang, Kak?!! Suatu hari nanti bahasa yang memegang dunia ini" kataku sengit.
"Ihh! Dibilangin ngeyel!" cerca kak Vina. Aku tidak peduli."Jurusan IPA itu enak. Menjamin. Habis lulus SMA lalu kuliah ngambil jurusan teknik sipil. Setelah lulus kuliah, kamu kerja di kantok seperti kakak. Ntar kakak bantuin cari jabatan yang bagus. Kakak kan punya jabatan yang bagus. Kakak kan punya banyak koneksi." jelas kak Vina panjang lebar sampai-sampai mulutnya berbusa. Aku tak peduli.
"Kakak bangga banget ya lewat koneksi. Emang kakak nggak ingin ya lihat adiknya sukses dengan usahanya sendiri." kataku sengit.
"Sudah!"
Mama menengahi.
"Cheryl, pokoknya kamu harus masuk jurusan IPA!!!" kata mama dengan suara lantang.
Aku bergidik. Hakim telah mengetok palunya. Baru kali ini aku melihat mama yang egois. Menyebalkan. Apakah aku akan berakhir di kelas IPA yang menurutku membosankan? Aagh..Tidak!!!
¤¤¤
Pagi hari di sekolah, aku menceritakan perihal perdebatan hebatku dengan mama dan Kak Vina pada Lytha, sahabatku.
Dan tahu apa pendapat Lytha. Dia hanya berkata, "Ya udah elo turutin aja apa kata nyokap dan kakak lo! Itu pasti juga demi kebaikan lo!"
BUG!! Aku seolah ditimpuk batu besar. Bagaimama bisa coba Lytha berpendapat seperti itu.
"Lyt, kog elo malah dukung nyokap sama kakak gue sih!" kataku sengit.
"Ya bukannya gitu juga, Ryl. Ini kan demi kebaikan elo." kata Lytha. "Kan kalau elo ngambil IPA, elo bisa sejurusan sama Nanda."
Nanda ingin masuk IPA? Bagaimana mungkin aku tidak tahu ya? Aku selalu berusaha mencari tahu semua hal tentangnya. Padahal sebenarnya aku malah tidak tahu apa - apa tentangnya. Bahkan hal kecil seperti ini aku tidak tahu. Bagaimana mungkin aku menyukainya.
"Hey ketemu lagi." sapa seseorang. Aku menoleh ke kananku. Nanda. Ohh.. Ia berdiri di sebelahku.
"Oh elo Nanda." kataku mencoba bersikap wajar.
"Kamu mau ke mana, Ryl?" tanyanya.
"Gue mau ke ruang guru. Elo sendiri?" tanyaku balik.
"Gue mau ke toilet. Duluan ya."
Nanda berlalu.
Pertemuan yang singkat itu, seharian membuat hatiku berbunga-bunga. Aku mulai menyusun rencana. Rencana A: berusaha tuk selalu dekat dengannya.
Rencana B: kalau sudah mulai dekat dengannya, aku akan memberi sinyal-sinyal positif bahwa aku menyukainya. Rencana C: dia mulai menyadari perasaanku padanya. Rencana D: dia pun mulai menyukaiku dam menunggu timing yang tepat buat nembak aku. Rencana E: dia nembak aku. Lalu Aku dan Nanda resmi jadian. Uugh.. Senangnya..
¤¤¤
"CheryL, mau pulang ya?"
Seseorang menyapaku. Aku membalikkan badan. Nanda. Yeah, aku senang ia menyapaku. Tapi ia menggandeng orang lain. Apa orang yang digandengnya itu pacarnya?
"Cheryl, kenalin. Ini Allison pacarku." katanya.
Langit runtuh. Begitu runtuhnya hingga aku merasakan sakit yang tak terhingga. Aku senang Nanda menyapaku. Senang sekali. Rasanya aku seperti terbang. Tapi kini setelah ia mengenalkan cewek barunya, aku seperti terjatuh. Dan ku rasakan tubuhku remuk redam.
"Aku Cheryl. Temannya Nanda." kataku. Agar ku tutupi perasaanku yang berkecamuk.
"Hallo.. Senang ketemu kamu." balas Allison ramah.
"Senang juga. Sorry aku harus pulang." kataku setengah gamang.
Aku berjalan mendahului mereka menuju pintu gerbang. Apa yang kamu rasakan seandainya kamu berjalan di depan cowok yang kamu sukai. Apalagi si cowok yang kamu sukai itu bermesraan dengan pacarnya? Dan saat itu kamu baru menyadari bahwa kamu mencintai orang yang salah. Sama seperti aku. Kisahku dengannya harus berakhir sebelum aku sempat memulainya. Tanganku gemetaran. Eh, bukan hanya tanganku tapi seluruh tubuhku terasa gemetaran. Air mata ini masih berusaha ku bendung. Matahari masih tepat di atas kepala. Cahayanya yang berpendar membuat mataku semakin berkaca-kaca. Dan kini aku menangis. Menangis di tengah jalan dan orang orang sekitar kompleks menontonku bak adegan disinetron. Ya, aku tidak peduli. Yang aku pedulikan hanya bagaimana cara menyatukan hatiku yang sudah terpecah belah seperti ini.
¤¤¤
"Cheryl!!"
Mama memanggilku di sore hari yang kelabu.
"Iya ma." Aku berlari menghampiri mama di ruang tengah.
Di ruang tengah, ada mama, papa, kak Vina, dan kak Julie. Yeah, sepertinya pengadilan keluarga akan segera dibuka. Aku tahu aku yang akan menjadi terdakwanya.
"Cheryl, apakah kamu sudah memutuskan mau mengambil jurusan apa?" tanya mama padaku memulai diskusi.
"Ya. Masih pada rencana. Cheryl keukeuh tetap mengambil jurusan bahasa." jawabku.
"Agh! Gak asyik deh kamu, Ryl. Gak enak bahasa itu. Gak menjamin. Kan udah aku bilangin. Bener kan, Jul?" Kak Vina bertanya pada kak Julie.
"Kalau menurut aku ya terserah Cheryl. Kan dia yang mau menentukan hidupnya. Kita sebagai keluarga hanya bisa menyarankan yang terbaik buat Cheryl." Kata-kata Kak Julie membuatku antusias. Kata-kata itu memang singkat tapi mampu mencerahkanku. Kak Vina, mama, dan papa langsung ternganga. Kak Julie benar-benar membelaku.
"Betul apa kata Julie. Kita harus mendukung kemauan Cheryl. Toh pada umumnya semua jurusan itu semuanya sama. Tergantung dia niat apa tidak." kata papa bijak.

Aku memegang tangan mama. "Ma, please. Izinkan Cheryl buat menentukan jalan yang Cheryl inginkan. Mungkin Cheryl nggak tahu jalan mana yang benar. Tapi di luar sana banyak pintu yang harus Cheryl pilih salah satunya." kataku.
Mama, papa, kak Vina, dan kak Julie terdiam. Hanya keheningan di rumah ini. Belum ada reaksi dari semua orang selama beberapa saat.
Mama menghela napas. Mama tersenyum dan ia membelai rambutku yang bergelombang.
"Mama mengizinkan kamu, Cheryl. Tapi ingat prestasi kamu harus bagus." kata mama.
Akhirnya semua orang di rumah ini menyetujui keinginanku. Aku gembira sekali. Suatu saat nanti, mama, papa, kak Vina, kak Julie, dan dunia akan mengetahui bakatku yang sesungguhnya.

Soal cinta... aku tak terlalu memikirkannya lagi. Segalanya memang telah berubah semenjak Nanda memperkenalkan Allison sebagai pacarnya padaku. Hatiku telah hancur. Dan kini saatnya aku melupakannya. Menepis semua khayalanku bersamanya. Merelakannya untuk bersama orang lain yang menjadi pilihannya. Dan aku yakin Tuhan akan menggantinya dengan pria yang lebih baik dari dirinya. Tetapi, aku akan tetap berterima kasih pada Nanda. Karena berkat dirinya aku merasakan sakitnya patah hati. 

No comments:

Post a Comment