Ini
gila. Benar-benar gila. Nggak salah? Mama menyuruhku untuk mengambil jurusan
IPA. Yeah memang aku punya kemungkinan besar untuk masuk untuk masuk jurusan
IPA. Tetapi aku lebih menyukai jurusan Bahasa. Duniaku. Aku ingin menjadi
penulis novel, penerjemah, atau pun teknisi pengajar bahasa asing bukan sebagai
ahli ilmu pengetahuan.
"Kamu
harus ngambil jurusan IPA, Cheryl! Kemampuan kamu mencukupi kog" kata mama
nyolot.
"Nggak
ah ma! Cheryl nggak mau ngambil jurusan IPA!" tukasku. "Cheryl mau
ngambil jurusan Bahasa aja!"
"Apa?"
kata mama dan kak Vina bersamaan. Mata mereka membelalak sebesar piring seperti
baru saja mendengar berita buruk.
"Jurusan
bahasa itu nggak menjamin, Cheryl!" sambung Kak Vina.
"Siapa
bilang, Kak?!! Suatu hari nanti bahasa yang memegang dunia ini" kataku
sengit.
"Ihh!
Dibilangin ngeyel!" cerca kak Vina. Aku tidak peduli."Jurusan IPA itu
enak. Menjamin.
Habis lulus SMA lalu kuliah ngambil jurusan teknik sipil. Setelah lulus kuliah,
kamu kerja di kantok seperti kakak. Ntar kakak bantuin cari jabatan yang bagus.
Kakak kan punya jabatan yang bagus. Kakak kan punya banyak koneksi." jelas
kak Vina panjang lebar sampai-sampai mulutnya berbusa. Aku tak peduli.
"Kakak
bangga banget ya lewat koneksi. Emang kakak nggak ingin ya lihat adiknya sukses
dengan usahanya sendiri." kataku sengit.
"Sudah!"
Mama
menengahi.
"Cheryl,
pokoknya kamu harus masuk jurusan IPA!!!" kata mama dengan suara lantang.
Aku
bergidik. Hakim telah mengetok palunya. Baru kali ini aku melihat mama yang
egois. Menyebalkan. Apakah aku akan berakhir di kelas IPA yang menurutku
membosankan? Aagh..Tidak!!!
¤¤¤
Pagi
hari di sekolah, aku menceritakan perihal perdebatan hebatku dengan mama dan
Kak Vina pada Lytha, sahabatku.
Dan
tahu apa pendapat Lytha. Dia hanya berkata, "Ya udah elo turutin aja apa
kata nyokap dan kakak lo! Itu pasti juga demi kebaikan lo!"
BUG!!
Aku seolah ditimpuk batu besar. Bagaimama bisa coba Lytha berpendapat seperti
itu.
"Lyt,
kog elo malah dukung nyokap sama kakak gue sih!" kataku sengit.
"Ya
bukannya gitu juga, Ryl. Ini kan demi kebaikan elo." kata Lytha. "Kan
kalau elo ngambil IPA, elo bisa sejurusan sama Nanda."
Nanda
ingin masuk IPA? Bagaimana mungkin aku tidak tahu ya? Aku selalu berusaha
mencari tahu semua hal tentangnya. Padahal sebenarnya aku malah tidak tahu apa
- apa tentangnya. Bahkan hal kecil seperti ini aku tidak tahu. Bagaimana
mungkin aku menyukainya.
"Hey
ketemu lagi." sapa seseorang. Aku menoleh ke kananku. Nanda. Ohh.. Ia
berdiri di sebelahku.
"Oh
elo Nanda." kataku mencoba bersikap wajar.
"Kamu
mau ke mana, Ryl?" tanyanya.
"Gue
mau ke ruang guru. Elo sendiri?" tanyaku balik.
"Gue
mau ke toilet. Duluan ya."
Nanda
berlalu.
Pertemuan
yang singkat itu, seharian membuat hatiku berbunga-bunga. Aku mulai menyusun
rencana. Rencana A: berusaha tuk selalu dekat dengannya.
Rencana
B: kalau sudah mulai dekat dengannya, aku akan memberi sinyal-sinyal positif
bahwa aku menyukainya. Rencana C: dia mulai menyadari perasaanku padanya.
Rencana D: dia pun mulai menyukaiku dam menunggu timing yang tepat buat nembak
aku. Rencana E: dia nembak aku. Lalu Aku dan Nanda resmi jadian. Uugh..
Senangnya..
¤¤¤
"CheryL, mau pulang ya?"
Seseorang menyapaku. Aku membalikkan badan. Nanda. Yeah,
aku senang ia menyapaku. Tapi ia menggandeng orang lain. Apa orang yang
digandengnya itu pacarnya?
"Cheryl, kenalin. Ini Allison pacarku."
katanya.
Langit runtuh. Begitu runtuhnya hingga aku merasakan
sakit yang tak terhingga. Aku senang Nanda menyapaku. Senang sekali. Rasanya
aku seperti terbang. Tapi kini setelah ia mengenalkan cewek barunya, aku seperti
terjatuh. Dan ku rasakan tubuhku remuk redam.
"Aku Cheryl. Temannya Nanda." kataku. Agar ku
tutupi perasaanku yang berkecamuk.
"Hallo.. Senang ketemu kamu." balas Allison
ramah.
"Senang juga. Sorry aku harus pulang." kataku
setengah gamang.
Aku berjalan mendahului mereka menuju pintu gerbang. Apa
yang kamu rasakan seandainya kamu berjalan di depan cowok yang kamu sukai.
Apalagi si cowok yang kamu sukai itu bermesraan dengan pacarnya? Dan saat itu
kamu baru menyadari bahwa kamu mencintai orang yang salah. Sama seperti aku. Kisahku
dengannya harus berakhir sebelum aku sempat memulainya. Tanganku gemetaran. Eh,
bukan hanya tanganku tapi seluruh tubuhku terasa gemetaran. Air mata ini masih
berusaha ku bendung. Matahari masih tepat di atas kepala. Cahayanya yang
berpendar membuat mataku semakin berkaca-kaca. Dan kini aku menangis. Menangis
di tengah jalan dan orang orang sekitar kompleks menontonku bak adegan
disinetron. Ya, aku tidak peduli. Yang aku pedulikan hanya bagaimana cara
menyatukan hatiku yang sudah terpecah belah seperti ini.
¤¤¤
"Cheryl!!"
Mama memanggilku di sore hari yang kelabu.
"Iya ma." Aku berlari menghampiri mama di ruang
tengah.
Di ruang tengah, ada mama, papa, kak Vina, dan kak Julie.
Yeah, sepertinya pengadilan keluarga akan segera dibuka. Aku tahu aku yang akan
menjadi terdakwanya.
"Cheryl, apakah kamu sudah memutuskan mau mengambil
jurusan apa?" tanya mama padaku memulai diskusi.
"Ya. Masih pada rencana. Cheryl keukeuh tetap
mengambil jurusan bahasa." jawabku.
"Agh! Gak asyik deh kamu, Ryl. Gak enak bahasa itu.
Gak menjamin. Kan udah aku bilangin. Bener kan, Jul?" Kak Vina bertanya
pada kak Julie.
"Kalau menurut aku ya terserah Cheryl. Kan dia yang
mau menentukan hidupnya. Kita sebagai keluarga hanya bisa menyarankan yang
terbaik buat Cheryl." Kata-kata Kak Julie membuatku antusias. Kata-kata
itu memang singkat tapi mampu mencerahkanku. Kak Vina, mama, dan papa langsung
ternganga. Kak Julie benar-benar membelaku.
"Betul apa kata Julie. Kita harus mendukung kemauan
Cheryl. Toh pada umumnya semua jurusan itu semuanya sama. Tergantung dia niat
apa tidak." kata papa bijak.
Aku memegang tangan mama. "Ma, please. Izinkan
Cheryl buat menentukan jalan yang Cheryl inginkan. Mungkin Cheryl nggak tahu
jalan mana yang benar. Tapi di luar sana banyak pintu yang harus Cheryl pilih
salah satunya." kataku.
Mama, papa, kak Vina, dan kak Julie terdiam. Hanya
keheningan di rumah ini. Belum ada reaksi dari semua orang selama beberapa
saat.
Mama menghela napas. Mama tersenyum dan ia membelai
rambutku yang bergelombang.
"Mama mengizinkan kamu, Cheryl. Tapi ingat prestasi
kamu harus bagus." kata mama.
Akhirnya semua orang di rumah ini menyetujui keinginanku.
Aku gembira sekali. Suatu saat nanti, mama, papa, kak Vina, kak Julie, dan
dunia akan mengetahui bakatku yang sesungguhnya.
Soal cinta... aku tak terlalu memikirkannya lagi.
Segalanya memang telah berubah semenjak Nanda memperkenalkan Allison sebagai
pacarnya padaku. Hatiku telah hancur. Dan kini saatnya aku melupakannya.
Menepis semua khayalanku bersamanya. Merelakannya untuk bersama orang lain yang
menjadi pilihannya. Dan aku yakin Tuhan akan menggantinya dengan pria yang
lebih baik dari dirinya. Tetapi, aku akan tetap berterima kasih pada Nanda.
Karena berkat dirinya aku merasakan sakitnya patah hati.
No comments:
Post a Comment