Thursday, May 30, 2013

Pesan Ibu

Siangku dikacaukan oleh dering ponsel yang memecah keheningan dalam asrama. Tak ku hiraukan dering ponsel itu dan fokus pada bahan presentasi kuliah untuk besok. Tetapi lama kelamaan dering itu juga mengganggu. Aku mengambil ponselku yang tergeletak di tempat tidur. Ku lihat siapa yang meneleponku. Lita. Adikku satu-satunya.
“Assalamualaikum.” kataku, memulai pembicaraan.
Masih belum ada sahutan dari sebrang sana. Lalu beberapa detik kemudian... “Mbak.” Suara Lita terdengar pelan, bahkan seperti berbisik. Lalu hening lagi.
“Ada apa Lit?”
“Mbak.” Suara Lita terdengar bergetar. Begitu pun dengan hatiku. Ada apa ini? Aku menelan ludah. Berusaha untuk tetap berpikiran positif meskipun otakku mulai diterpa oleh berbagai pikiran negatif. “Ibu,..” Lita berhenti sejenak. “Ibu sakit keras mbak.”
Hening. Dan kosong. Selama sepersekian detik aku mencoba mencerna keadaan ini. Suara Lita selanjutnya hanyalah seperti angin berlalu. Ibuku sakit keras? Ibuku sakit keras? Otakku mendadak kosong. Yang terpikir hanyalah aku harus pulang ke tanah air secepat mungkin. Setelah telepon terputus, aku mengambil tas dan memasukkan ponsel, dompet, serta pasport.
Aku meninggalkan asrama seketika. Setelah semua urusan selesai, aku berangkat ke bandara. Senja mulai bernaung ketika aku duduk di kursi dalam pesawat. Entahlah. Tak ada yang bisa ku lakukan selain untaian doa kepada ilahi untuk kesembuhan ibuku. Aku merogoh tasku dan mengambil dompet lusuh pemberian ibu. Dalam dompet itu terpajang foto hitam putih bapak dan ibuku. Membawa pikiranku melayang ke masa lalu.
Ibu dan bapakku bisa dibilang sangat mencintai Indonesia. Karena dulunya almarhum mbahku meninggal saat ikut perang, katanya. Setiap tanggal-tanggal bersejarah seperti hari Proklamasi Kemerdekaan, hari Pendidikan Nasional, hari Sepuluh November, dan lain-lain bapak dan ibu selalu memasang bendera terlebih dahulu meskipun tetangga yang lain belum ada yang memasang bendera.
Iseng adikku pernah bertanya. “Bu, kog udah masang bendera sih? Tetangga yang lain aja belum?”
Bapak menyahut. “Lha wong bentar lagi sepuluh november.”
“Tapi kan belum disuruh pak RT?” Adikku rupanya masih belum puas dengan jawaban bapak.
“Yo biarin. Wong kita tinggal masang aja kok nunggu disuruh. Dulu saat masih belum merdeka, orang-orang berlomba-lomba buat ngibarin bendera. Sekarang udah zamannya enak ngibarin bendera aja nunggu disuruh.”
Adikku langsung terdiam. Ia melirik aku yang sedang tertawa mengejeknya. Ia mendesah sebal. Lucu.
Ibuku berhenti mengupas mangga. “Kalau perlu Rani ikut paskibraka aja. Biar rasa nasionalismenya itu bangkit.”
Aku tersentak. “Agh! Ndak usah bu! Ndak usah repot-repot!”
“Lho! Ndak apa-apa. Paskibraka di sekolahmu itu bagus. Nanti ibu daftarin.”seru ibuku.
Aku menelan ludah. Ku dengar tawa renyah dari adikku. Yang semakin membuatku kesal. Aku merengut sambil kembali ke kamar.
Saat itu aku masih duduk di bangku SMA, ketika ibu dan bapak dengan bangganya mengatakan bahwa aku adalah generasi muda yang baik. Dengan seriusnya, akhirnya ibu mendesakku untuk ikut ekstra kulikuler paskibraka. Katanya supaya rasa nasionalismeku bangkit. Dengan berat hati aku mengikuti saran ibu.
            Setiap jum’at sore aku latihan paskibaraka. Menyebalkan. Jadinya aku tak bisa menonton drama favoritku di televisi. Tetapi itu hanya berlangsung beberapa bulan. Aku memilih berhenti dari ekstrakulikuler paskibraka. Ketika ada pembagian raport tengah semester, guruku mengatakan pada ibu bahwa aku sudah berhenti dari paskibraka. Ibu sangat marah padaku.
            “Ran, kamu tahu tujuan ibu masukin kamu ke paskibraka? Supaya kamu itu tahu rasa nasionalisme itu! Ndak melulu suka sama yang berbau barat-barat.” omel ibu.
            “Latihan paskibraka itu tiap jum’at sore. Aku jadi nggak bisa nonton drama favoritku bu.” balasku.
            “Oh. Jadinya yang buat kamu keluar dari paskibraka itu gara-gara ndak bisa nonton televisi. Ya Allah Ran. Keterlaluan!”
            Bagaikan angin berlalu aku tak menghiraukan nasihat maupun omelan ibuku. Ku lirik sejenak bapak. Ia hanya duduk di kursi sambil menyesap secangkir kopinya. Suka sama hal yang berbau barat bagiku itu kan modernitas supaya nggak ketinggalan zaman. Aku tidak mau kalau teman-teman mengatakan bahwa aku itu katrok, ndeso atau apalah.
            Akibatnya setelah perdebatan hari itu aku dan ibu saling marah. Bahkan ibu mengambil tindakan ekstrim yaitu dengan tidak menyapaku selama beberapa hari. Tapi akhirnya secara tidak langsung aku dan ibu berbaikan. Karena kami adalah ibu dan anak. Sama-sama membutuhkan satu sama lain, terlebih lagi aku.
            Meskipun sudah berbaikan, sikap ibu terkadang masih sangat menyebalkan. Seperti siang itu ketika liburan sekolah. Aku menyetel lagu favoritku dan ikut bernyanyi dengan penuh semangat. Ibu masuk ke kamarku tiba-tiba dan langsung memarahiku. Rupanya saat itu ibu sudah memanggilku berkali-kali tapi aku tak mendengarkannya. Jadinya ibu marah-marah dan mulai menyinggung tentang musik barat vs musik negeri.
            “Astagfirullahal adzim Rani. Ibu dari tadi manggil kamu.” seru ibuku.
            “Maaf bu. Rani ndak dengar.” akuku.
            “Lha! Gimana mau dengar. Kamu nyetel lagu jingkrak-jingkrak kayak gitu!” seru ibu. Aku terdiam. Perlahan-lahan tanganku menekan tombol remot untuk mematikan lagu itu. “Kalau musik barat aja kamu hafal. Coba lagu dari sabang sampai merauke. Apa kamu bisa?”
            Aku nyengir. “Nggak hafal semuanya bu.”
            Ibu menghela napas lalu keluar dari kamarku. Mungkin karena ia lelah berdebat denganku. Ketika makan siang, ibu mulai membandingkanku dengan prestasi paskibraka Lita. Adikku itu memang menuruti keinginan ibu. Semuanya. Mengikuti ekstra kulikuler paskibraka, tidak suka musik barat, bahkan rencananya setelah lulus SMA ibu dan bapak ingin menyekolahkannya ke KOWAL.
            “Adikmu menang lagi paskibnya. Juara satu lho Ran!” kata ibu.
            “Oh. Selamat Lit.” balasku. Aku tidak tertarik.
            “Ran, kamu udah kelas tiga semester terakhir lagi. Lulus SMA mau kemana?” tanya bapak. Sepertinya bapak ingin mengubah topik pembicaraan.
            “Nggak tahu, Pak. Rani ingin cari beasiswa kuliah keluar negeri. Barangkali dapat alhamdulillah.” jawabku.
            “Keluar negeri? Kenapa nggak di sini aja mbak? Kalau keluar negeri kan otomatis jauh dari keluarga.” sambung Lita.
            “Itu impianku dari kecil, Lit. Jadi lulusan universitas luar negeri peluang kerjanya lebih banyak dari yang dalam negeri.” kataku.
            “Sekolah di sini juga bisa sukses kok.” kata ibu. Aku hanya terdiam menatap sepiring nasi dan tempe goreng.
            Tidak apa-apa. Aku bisa meraih impianku. Itulah kata-kata yang selalu aku tanamkan dalam otakku. Hingga akhirnya, aku lulus SMA dengan nilai yang cukup memuaskan bagi bapak dan ibuku. Selama beberapa bulan terakhir aku benar-benar bekerja keras. Lahir dari keluarga sederhana bukan berarti tidak boleh mempunyai impian tinggi. Aku yakin aku bisa. Aku yakin impianku akan tercapai.
            Setelah lulus SMA, aku masih nganggur di rumah selama satu bulan. Setelah mengikuti tes beasiswa kuliah di Singapura, seharusnya hari ini adalah hari pengumumannya. Aku menunggu was-was di teras rumah. Lalu kembali ke kamar. Lalu kembali ke teras lagi. Hingga sebuah sepeda motor berwarna orange mendarat mulus di depan rumah. Itu Pak Pos.
            Ia menyerahkan sebuah surat resmi dan menyuruhku untuk tanda tangan di berkas-berkas. Setelah selesai, aku masuk ke dalam rumah. Mencoba untuk bersikap tenang. Saat itu rumah sedang sepi. Bapak sedang kerja, Lita sedang sekolah, dan ibu sedang pergi ke rumah Pakdheku. Aku membuka surat itu dengan tegang. Dan hasilnya aku diterima di Universitas Singapura.
            Entahlah. Yang ada dalam benakku hanyalah ucapan syukur yang tak terhitung banyaknya. Berkali-kali aku sujud syukur dengan air mata kebahagiaan yang tak henti-hentinya mengalir. Ketika ibu pulang, ku sambut dengan pelukan dan teriakan kegirangan.
            “Ibu aku akan kuliah di Singapura.” seruku sambil memeluknya. Ibu tak berkata apapun. Ia hanya tersenyum sambil meneteskan air mata.
            Ketika Lita pulang sekolah dan bapak pulang kerja ku sambut dengan bau masakan yang lain dari biasanya. Terasa lebih spesial. “Pak, aku mau ke Singapura.” kataku sambil menyerahkan surat yang ku dapat.
Tak henti-hentinya bapak memelukku sambil menangis.
Kabar itu begitu cepat menyebar. Ke tetangga, ke saudara dekat dan jauh. Bapak menjual motornya untuk membiayaiku hidup di sana. Setelah semua urusan di Indonesia selesai, akhirnya aku berangkat ke Singapura.Di bandara terjadi momen yang begitu emosional bagiku. Ibu memelukku sambil menangis.
            “Ran, jaga diri! Jangan lupa berdoa! Ingat! Tujuan kamu di sana buat belajar bukan buat hura-hura.” kata ibu sambil menangis. Ia memelukku erat. Tadinya aku kira akan mudah lepas dari ibu, bapak, maupun Lita. Tapi ternyata berat. Hidup bersama belasan tahun dan ikatan batin yang kuat bagaikan tembok baja yang sulit ditembus.
            Aku menatap mata tua bapak yang memerah menahan air mata. Andaikan bisa ku bawa mereka pasti akan ku bawa. “Hati-hati nak. Ingat! Selalu ingat Gusti Allah. Kalau ada masalah telepon aja.” Aku mengangguk, masih dengan air mata yang mengalir deras.Bercabang-cabang bagaikan aliran sungai.
            Aku menatap adikku yang menangis sesenggukan. “Mbak. Hati-hati. Kalau pulang, jangan lupa bawa oleh-oleh.”
            Aku tertawa di sela tangisku. “Lit, titip bapak sama ibu ya. Jangan nakal! Jangan buat susah bapak sama ibu.”
            Adikku mengangguk sambil tersenyum. “Mbak, kalau sudah sukses jangan lupa sama akarmu.” katanya. Aku mengelus rambutnya.
            “Assalamualaikum.” kataku berpamitan. Aku pasti akan merindukan mereka.
           Kuliah di Singapura membuatku harus tinggal di asrama. Hari-hari pertama di sana, ku jalani dengan adaptasi. Di malam-malam pertama aku suka menangis karena merindukan rumah. Aku rindu bapak, ibu, dan Lita. Tetapi aktivitas kampus menuntutku untuk lebih cepat adaptasi. Di sana cukup banyak TKW. Aku berteman akrab dengan mereka. Salah satunya Inne, TKW asal Tegal.Aku memanggilnya mbak karena usianya sudah 28 tahun. Ia bekerja sebagai baby sitter. Ia pernah cerita bahwa kehidupan di Indonesia itu keras. Tapi di luar negeri jauh lebih keras.
            “Memang benar kata orang. Apapun yang terjadi lebih nyaman tinggal di negeri sendiri daripada di negeri orang.” kata Inne.
            “Emang gitu ya mbak?”
Aku masih belum percaya. Memang aku jauh dari keluarga dan tinggal di sini sering membuatku terkena homesick. Tapi di sini pikiranku tentang dunia ini jauh lebih terbuka. Mungkin juga ada alasan lain yang aku tidak tahu.
“Kadang saya sering merasa menyesal kerja di luar negeri.” akunya.
“Lho! Kenapa mbak? Di sini kan gajinya lebih besar daripada di Indonesia.”
“Itu pikiran saya sewaktu pertama kali datang ke sini, Ran. Saya sering kangen keluarga. Kangen anak dan kangen suami. Tapi mau gimana lagi kontrak kerjanya belum habis. Kalau saya lagi beruntung saya bisa dapat majikan yang baik. Tetapi kalau keberuntungan berbalik jadi kesialan. Ya sekali lagi nasib yang harus berkata. Majikan saya kadang suka menyulitkan saya.”
Aku tertegun mendengar cerita mbak Inne. Sekali lagi aku begiti terkejut. 
***
             Alhamdulillah. Akhirnya aku sudah sampai di Tanah Air, tepatnya Surabaya. Aku membuka dompetku. Tidak ada banyak uang. Mungkin hanya cukup untuk naik taksi sampai di rumah sakit. Seluruh uang tabungan ku gunakan untuk membeli tiket pesawat dan urusan administrasi lainnya.
            Perjalanan menuju rumah sakit benar-benar menguji kesabaranku. Jalan-jalan banyak yang macet. Padahal aku ingin cepat-cepat sampai di rumah sakit. Hingga akhirnya aku sampai di rumah sakit. Lita memberi tahu letak kamar ibu dengan jelas melalui pesan singkat yang baru masuk beberapa menit yang lalu.
            Aku berlari menuju kamar ibu. Hingga akhirnya aku tiba di depan kamar ibu. Aku berhenti sejenak untuk menghela napas. Lalu perlahan-lahan ku raih gagang pintu itu dan membuka pintu. Ku lihat di depan mataku, ibu terbaring tak berdaya sementara alat-alat medis menempel pada tubuhnya. Aku benci hal ini. Ibuku bukanlah orang yang lemah. Ia wanita yang kuat dan tangguh. Sementara wanita yang terbaring tak berdaya di sini. Oh mungkinkah wanita itu bukan ibu?
            Lita memegang pundakku dan menuntunku mendekati ibu. “Mbak.” Ku lihat air mata membasahi kedua pipinya.
            Sebutir air mata meleleh di pipiku. Air mata yang sedari tadi ku tahan kini akhirnya pecah tanpa bisa dibendung. Ibu membuka matanya perlahan-lahan. Senyuman samar tersungging di bibirnya. “Rani kangen sama ibu.”
            “Nduk, gimana sekolahmu?” Suara ibu terdengar tersendat-sendat.
            “Baik bu. Sebentar lagi Rani mau masuk semester akhir. Setelah itu lulus dan jadi sarjana ekonomi.” kataku berusaha untuk tersenyum.
            “Ibu harap, kamu bisa jadi yang terbaik bagi bangsa ini. Bagi bapak dan bagi ibu.” kata ibu. Ia masih tersenyum.
            “Insyaallah bu. Insyaallah.”
            Ibu menatapku lalu berpaling pada Lita. Sekali lagi beliau masih tersenyum. Tiba-tiba ku sadari sorot matanya mulai meredup. Ketakutan mulai menjalari tubuhku. Mengisi ruang dalam otakku. Dokter jaga memeriksanya berkali-kali. Aku melihat layar monitor. Lalu garis lurus muncul. Menyentakkan logikaku. Aku menatap ibu. Ia menutup matanya sambil tersenyum.  Dokter menatap bapak sambil menggelengkan kepala. Ku lihat Lita menangis sesenggukan. Tidak. Tidak mungkin. Demi Allah! Ini tidak mungkin.
            “Ibu! Ini ndak mungkin tho pak! Ibu ndak mungkin pergi! Rani belum sempat membanggakan ibu! Rani belum jadi sarjana pak.” seruku. Bapak mendekap aku dan Lita. Dari balik punggung bapak aku melihat suster telah melepas alat medis yang menempel pada tubuh ibu.
Dan gelap.
            “Ingat nduk! Jadilah yang terbaik untuk bangsa ini! Kita tidak lagi dijajah secara fisik. Tetapi kita dijajah melalui moral, etika, dan oleh kebodohan. Jangan mau, nduk! Dulu mbahmu berharap supaya negeri ini tidak dijajah lagi. Sekarang ibu juga berharap supaya negeri ini tidak dijajah untuk yang kesekian kali. Ibu percaya kamu bisa. Karena kamu gadis yang penuh tekad.”
            Samar-samar ku dengar suara ibu. Rupanya hanya mimpi. Aku membuka mataku dengan berat. Selama beberapa detik aku berusaha mempercayai semuanya. Tapi hal ini sungguh berat. Aku bangun. Dan kusadari tubuhku ada di kamar Lita. Di rumah. Bulikku mendekapku.
            “Ibu bulik. Ibu udah ndak ada.” Tangisku kembali pecah.
            Bulik mengangguk sambil menangis. “Ya nduk. Yang sabar. Ini sudah suratan.”
            Setelah pemakaman, aku hanya berdiam diri di kamar. Kenanganku bersama ibu mulai dari bayi sampai detik-detik terakhir ibu berputar seperti film dalam otakku. Aku mendekap foto ibu. Dan tangisku kembali pecah. Aku menyesal karena belum sempat melakukan apa-apa untuk ibu.
            Pintu kamar terbuka. Lita masuk ke kamar sambil membawakanku sepiring makanan. “Mbak, ayo dimakan!” kata Lita.
            Aku menggelengkan kepala. Ia menaruh sepiring makanan itu di kasur.
            Tangis Lita tiba-tiba pecah. “Jangan gitu tho mbak. Nanti ibu sedih. Jangan buat ibu nangis di akhirat.”
           Aku memeluk Lita. “Mbak nyesel Lit. Mbak nyesel. Mbak ndak pernah nurut ibu. Mbak selalu buat ibu sedih. Padahal mbak belum melakukan apa-apa. Tapi ibu udah dipanggil Allah.”
            Mungkin karena mendengar gaduh di kamarku, bapak masuk ke kamar dan duduk di sampingku. Dengan tegarnya ia berkata, “Sabar nduk. Ini sudah suratan. Jangan buat ibumu sedih di sana.”
            “Tapi Rani belum sempat melakukan apa-apa Pak.”
            “Lakukan mulai dari sekarang, nduk. Lakukan apa yang ibumu inginkan. Jadi yang terbaik untuk bangsa.”
            Kata-kata bapak seperti membangunkan sesuatu dalam jiwaku. Seperti sebuah api yang menggelorakan jiwaku. Aku terisak. “Insyaallah Pak. Insyaallah Rani akan melakukan apa yang ibu inginkan.”
***
            Aku akan kembali ke Singapura setelah tujuh hariannya ibu. Itu berarti sore ini. Budhe yang membiayai tiket pesawat dan administrasi untuk ke sana. Karena uang tabunganku telah habis untuk biaya pulang ke Surabaya dan bapak juga nggak ada uang. Sebelum berangkat aku nyekar ke makam ibu yang tidak jauh dari rumah.
            “Bu, semoga harapan dan impian ibu bisa Rani wujudkan. Rani akan selalu berusaha sebisa mungkin. Mulai besok. Mm. Tidak. Mulai sekarang Rani akan berusaha untuk menjadi yang terbaik untuk bangsa ini. Karena seperti ibu. Rani juga ingin memajukan bangsa ini. Insyaallah, bu. Insyaallah Rani bisa.”
            Aku membaca doa dan menaburkan bunga di atas gundukan tanah yang masih basah ini. Aku berdiri dan berjalan meninggalkan makam ibu. Kenanganku bersama ibu masih terekam jelas dalam memoriku. Insyaallah. Insyaallah aku bisa.
            Bismillahirrahmannirrahim.

TAMAT

            

No comments:

Post a Comment